Jauh sebelum deru mesin bus dan truk menggema di pegunungan Sumatera Utara, transportasi di wilayah ini bergantung pada kekuatan kaki dan hewan. Kuda dan kerbau menjadi moda utama pengangkutan barang dan manusia dari satu desa ke desa lain, menembus lebatnya hutan dan perbukitan curam. Di wilayah Angkola, Mandailing, Toba, hingga Karo, kuda—yang dikenal sebagai hoda boban—adalah simbol status sekaligus alat vital untuk mobilitas sosial dan ekonomi.
Jalur-jalur perintis yang kini menjadi jalan lintas Sumatera dulu hanyalah setapak tanah yang dilalui hewan beban. Di sinilah geliat pertama mobilitas pedalaman dimulai. Para pedagang kopi, rempah, dan hasil bumi mengandalkan kuda dan kerbau untuk mengangkut barang ke pasar-pasar tradisional, termasuk menuju pelabuhan-pelabuhan seperti Sibolga. Sistem transportasi ini berjalan lambat, namun menjadi tulang punggung ekonomi lokal selama berabad-abad.
Memasuki abad ke-20, geliat modernisasi mulai merambah Tanah Batak dan sekitarnya. Jalan-jalan tanah mulai diperkeras, dan kendaraan roda dua serta truk sederhana diperkenalkan oleh pemerintah kolonial dan saudagar-saudagar lokal. Di tengah situasi ini, muncul sosok Sutan Pangurabaan Pane, seorang guru dan wartawan yang kelak memainkan peran penting dalam sejarah transportasi Sumatera Utara.
Sutan Pangurabaan Pane bukan hanya dikenal sebagai penulis dan tokoh perintis Muhammadiyah di Sipirok, tapi juga seorang pelopor transportasi darat di kawasan Angkola. Ia dikenal karena keberaniannya meninggalkan profesi sebagai guru kolonial demi perjuangan intelektual dan sosial melalui jurnalistik dan pengorganisasian rakyat. Di masa dewasanya, ia menyadari pentingnya mobilitas bagi kemajuan masyarakat pedalaman.
Pada 1 Januari 1937, Sutan Pangurabaan mendirikan perusahaan otobus bernama Sibualbuali, mengambil nama dari gunung suci yang terletak di tanah kelahirannya, Sipirok. Ini menjadi tonggak penting dalam sejarah transportasi modern di Tapanuli. Bus-bus Sibualbuali menghubungkan Sipirok dengan kota-kota besar seperti Padang Sidempuan, Tarutung, Sibolga, hingga Medan, dan bahkan mencapai Palembang serta Lampung.
Sibualbuali bukan hanya bisnis, melainkan proyek sosial yang lahir dari pandangan visioner Sutan Pangurabaan. Ia melihat bagaimana keterisolasian wilayah pedalaman menyebabkan kemiskinan dan ketertinggalan. Dengan mempercepat mobilitas, ia ingin membuka akses pendidikan, ekonomi, dan budaya bagi masyarakat Angkola dan sekitarnya. Armada bus miliknya menjadi harapan baru bagi rakyat untuk melihat dunia luar.
Dalam masa perjuangannya, Sutan Pangurabaan juga dikenal sebagai juru damai. Ia menjalin komunikasi antara Belanda dan Sisingamangaraja XII selama Perang Toba II. Peran ini menempatkannya sebagai tokoh unik—seorang intelektual lokal yang mampu menjembatani dua dunia yang saling bertentangan, dengan harapan menghindari pertumpahan darah lebih luas.
Setelah kemerdekaan, geliat transportasi Sumatera Utara tidak surut. Bahkan, semangat pionir seperti Sutan Pangurabaan melahirkan tokoh-tokoh baru yang mengembangkan jaringan lebih luas. Salah satu nama besar yang muncul kemudian adalah Perusahaan Otobus Antar Lintas Sumatera, atau yang lebih dikenal dengan nama PO ALS.
ALS didirikan pada 29 September 1966 oleh tujuh saudagar bersaudara di Kotanopan, Mandailing Natal. Dipimpin oleh H. Sati Lubis, mereka mulanya hanya memiliki beberapa truk untuk mengangkut hasil bumi. Namun dengan visi jangka panjang, mereka menyulap armada sederhana itu menjadi jaringan transportasi penumpang lintas provinsi yang disegani.
ALS tumbuh dari usaha kecil menjadi raksasa transportasi darat. Mereka memulai dengan trayek Kotanopan–Medan, kemudian secara bertahap membuka rute hingga ke Pulau Jawa. Medan ke Jember, Jawa Timur, menjadi salah satu trayek terjauh di Indonesia, menjadikan ALS sebagai legenda dalam dunia transportasi nasional.
Yang membedakan ALS dengan perusahaan lain adalah kemampuannya menjawab kebutuhan diaspora Sumatera Utara di Pulau Jawa. Bus ALS tidak hanya membawa penumpang, tapi juga barang-barang seperti beras Mandailing, ikan asin Tapanuli, hingga surat dan oleh-oleh dari kampung. Bus ALS menjadi penghubung emosional antara perantau dan tanah leluhur mereka.
Selain ALS, muncul pula nama-nama besar lain seperti PO Naikilah Perusahaan Minang (NPM), PO Sinar Padang, hingga PO Raja Basa. Namun, di hati masyarakat Sumatera Utara, ALS dan Sibualbuali tetap memiliki tempat khusus sebagai simbol transportasi berbasis nilai budaya dan semangat kolektivitas.
Kemunculan bus-bus ini tidak hanya berdampak pada ekonomi, tapi juga pada perubahan sosial. Pendidikan menjadi lebih terjangkau karena akses ke sekolah di kota lebih mudah. Pasar-pasar menjadi lebih ramai karena distribusi barang lancar. Bahkan, penyebaran ideologi dan agama juga dipengaruhi oleh kemudahan akses jalan darat.
Kini, jalan-jalan lintas Sumatera yang dulunya hanya dilalui hoda boban telah berubah menjadi rute bus mewah ber-AC. Namun jejak sejarah itu tetap terasa, terutama di terminal-terminal kecil di daerah Angkola dan Mandailing, di mana para sopir masih menyapa penumpangnya dengan bahasa Batak yang hangat.
Transportasi di pedalaman Sumatera Utara adalah kisah panjang tentang adaptasi, inovasi, dan perjuangan. Dari kuda beban hingga bus ALS, dari pegunungan Sipirok hingga kota-kota di Jawa, sejarah ini merekam semangat orang Mandailing untuk maju tanpa melupakan akar mereka.
Semangat Sutan Pangurabaan Pane dan pendiri ALS masih terasa hingga kini. Mereka bukan sekadar pengusaha, tapi arsitek mobilitas dan perubahan sosial. Mereka memahami bahwa membangun jalan dan kendaraan adalah bagian dari membangun masa depan.
Dengan berkembangnya infrastruktur dan teknologi, masa depan transportasi Sumatera Utara mungkin akan mengarah ke digitalisasi dan kendaraan listrik. Namun, warisan para pendahulu seperti Sutan Pangurabaan Pane akan selalu menjadi fondasi dari setiap langkah baru. Transportasi bukan hanya soal berpindah tempat, tetapi tentang merawat koneksi antarmanusia dan membangun jembatan antar generasi.