News

terkaya

Titulo

Mustartim Pohan Dan Isra' Mikraj

Medan (SIB)
Melayu sebagai suatu resam atau bangsa merupakan rumpun yang tidak terikat oleh sekat-sekat kultural secara eksklusif melainkan suatu budaya yang terbuka dan bisa bertahan terutama di kawasan Asia selama berabad-abad dan tidak bisa dipisahkan dengan Islam. Itulah sebabnya nilai-nilai ke-Melayu-an adalah sahabat semua suku dan telah teruji menjadi penggerak utuhnya persaudaraan.

Ketua Umum Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia (MABMI) H Syamsul Arifin SE Gelar Datuk Sri Lelawangsa Hidayatullah mengisyaratkan hal itu pada acara Peringatan Israk Mikraj Nabi Besar Muhammad SAW yang digelar Himpunan Masyarakat Melayu Pesisir Tapteng Sibolga dan Aceh Singkil (HMMPS), Minggu (12/8).

Ketua Himpunan Masyarakat Melayu Pesisir Sumut Drs H Makmur Saleh Pasaribu mengemukakan, kegiatan yang kepanitiaannya diketuai H Mustartim Pohan ini cukup positif untuk syiar Islam sekaligus silaturrahmi antar masyarakat Melayu pesisir guna mempererat persaudaraan dan kekeluargaan.

Peringatan Israk Mikraj ini diawali Pembacaan Ayat Suci Al-Quran oleh Muchsin SE MM dan Ceramah Agama oleh Al Ustadz Drs Mahmud Yunus Daulay S Ag tentang makna yang terkandung dalam Israk Mikraj Nabi Besar Muhammad SAW terutama perintah Shalat dari Allah SWT yang wajib dilaksanakan oleh ummat Islam sebagai tiang Agama serta menjadikan umat yang shaleh dan membentengi diri dari kemaksiatan.

H Makmur Saleh Pasaribu yang juga Ketua HMMPS Tapteng Sibolga pada kesempatan ini juga memaparkan pentingnya masyarakat Melayu pesisir untuk terus memantapkan persatuan dan kesatuan melalui berbagai kegiatan yang diprogramkan khususnya memperingati hari-hari besar keagamaan Islam.

Ketua Umum MABMI H Syamsul Arifin SE yang juga Bupati Langkat di hadapan masyarakat Melayu pesisir yang juga dihadiri Sekjen MABMI Anjar Amri SH serta Ketua dan Sekretaris Himpunan Masyarakat Melayu Pesisir Wilayah Singkil Mukhsin SE MM dan H Ahyan Tito SE mengemukakan dewasa ini nilai ke-Melayu-an telah bangkit kembali dan orang sudah bangga menerima gelar Melayu.

Hal ini merupakan salah satu daya penggerak bagi masyarakat Melayu dalam memperteguh visi dan aksi dalam menjalankan amanah dari falsafah ke-Melayu-an terutama dalam mengemban amanah budaya luhur, berfikir berbuat dan bertindak kerakyatan, Islam dan persatuan nasional dalam norma santun serta produktif dalam jiwa silaturrahmi.

Falsafah dimaksud tentunya akan mampu merekatkan kembali rasa kebersamaan dalam bentuk ikatan batin rumpun Melayu yang tersebar di seluruh nusantara, yang tidak hanya terbatas pada kegiatan-kegiatan seremoni yang megah dan meriah, tetapi juga dapat diwujudkan dalam bentuk kerjasama operasional yang nyata dan terarah, yang mendukung dan memperkokoh kebersamaan dan kesejahteraan masyarakat.

Dia mengisyaratkan melalui komitmen ini maka semakin benarlah bahwa Melayu selalu identik dengan Islam dan ciri Islam inilah yang menimbulkan dan menumbuh-kembangkan lahirnya suatu istilah bahwa membela Melayu berarti membela Islam, menjaga eksistensi budaya Melayu berarti pula menjaga eksistensi budaya Islam.

Dia optimis berbagai upaya yang dilakukan oleh para tokoh masyarakat Melayu diharapkan dapat lebih membangkitkan usaha-usaha yang lebih besar dan yang lebih konkrit serta lebih mengeratkan solidaritas masyarakat Melayu, yakni sebuah nilai ke-Melayu-an yang besar dan mengekalkan jati diri ke-Melayu-an yang telah terpateri dalam nilai “se-nasib se-penanggungan”, “se-Agama dan se-tali darah, se-nenek dan se-moyang, se-suku dan se-asal, se-adat dan se-pusaka, se-induk dan se-bahasa”.

Nilai inilah yang menjadi semangat masyarakat Melayu dalam wujud Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melahirkan perilaku kehidupan sehari-hari yang menumbuhkembangkan kekentalan persaudaraan antar masyarakat Melayu dan juga mengekalkan rasa kegotongroyongan dan tenggang rasa, tanpa diikat oleh rasa kesukuan yang sempit.
Powered by Blogger.