News

terkaya

Titulo

Sudan Harus Belajar dari Negara Terbelah Demi Rakyat Makmur



Perpecahan pemerintahan dalam satu negara sering kali dipandang sebagai ancaman, namun dalam beberapa kasus sejarah, kondisi itu justru bisa diolah untuk menciptakan keseimbangan baru dan peluang kemakmuran. Situasi seperti ini bukan hal baru di panggung geopolitik dunia. Taiwan dan China misalnya, meski secara resmi masih dianggap satu bangsa, telah memiliki pemerintahan terpisah selama puluhan tahun, tetapi kedua wilayah mampu tumbuh dengan pendekatan ekonomi masing-masing.

Begitu pula Korea Selatan dan Korea Utara yang secara teknis belum berdamai sejak Perang Korea 1950-an. Meskipun berseberangan ideologi dan militer, kedua Korea sempat membuka jalur ekonomi bersama di Kaesong dan pertukaran budaya yang menunjukkan bahwa perbedaan sistem pemerintahan bisa dikelola untuk kepentingan rakyat di kedua sisi.
Di Timur Tengah, Suriah pernah mengalami situasi serupa saat negeri itu memiliki empat pemerintahan de facto. Selain rezim Bashar al-Assad di Damaskus, ada pemerintahan penyelamat di Idlib, pemerintahan interim di Azaz, serta pemerintahan otonomi AANES di timur Suriah. Masing-masing wilayah berjalan dengan sistem administratifnya, sembari menjaga layanan dasar bagi warga di tengah perang.

Libya pun tidak jauh berbeda. Negara itu terbagi antara pemerintah di Tripoli dan Benghazi. Meski hubungan mereka kerap diwarnai ketegangan, upaya-upaya untuk menjaga stabilitas ekonomi lokal tetap dilakukan. Beberapa kali proyek infrastruktur dan layanan publik dijalankan di masing-masing wilayah tanpa saling menunggu.

Yaman menghadapi situasi sejenis. Pemerintahan Houthi di Sanaa dan pemerintahan sah di Aden masih terus berseteru, tetapi beberapa sektor publik, seperti pendidikan dan kesehatan, tetap diupayakan berjalan di wilayah masing-masing. Sayangnya, konflik berkepanjangan membuat potensi kemakmuran bersama masih jauh dari kenyataan.

Begitu juga Somalia yang mempunyai tiga pemerintahan; Mogadisu, Somaliland dan wilayah Al Shabab.

Sudan saat ini menghadapi ancaman perpecahan de facto setelah pemerintahannya menggelar penukaran mata uang sebagian. Kebijakan itu memicu perpecahan ekonomi karena tujuh negara bagian di bawah kendali tentara menghentikan penggunaan uang lama, sementara sebelas negara bagian di bawah Pasukan Dukungan Cepat (RSF) menolak uang baru.

Akibatnya, masyarakat di wilayah RSF menghadapi kesulitan ekonomi serius, mulai dari simpanan yang terancam hangus hingga sulitnya akses perbankan dan transportasi antar-wilayah. Langkah pemerintah pusat ini dianggap prematur dan justru memperbesar risiko perpecahan nasional, mengingat RSF menguasai area kaya sumber daya.

Kebijakan semacam itu seharusnya bisa dihindari. Seperti pengalaman Korea, Libya, atau bahkan Suriah, kondisi negara terbelah bisa ditata dengan kesepakatan damai terbatas, pembagian kewenangan administratif, serta pengelolaan ekonomi bersama untuk menjamin kesejahteraan rakyat tanpa harus langsung reunifikasi.

Pakar ekonomi Timur Tengah menilai, dalam situasi seperti ini, pemerintah di masing-masing wilayah seharusnya fokus pada layanan publik, ketahanan pangan, dan stabilitas harga kebutuhan pokok. Langkah tersebut lebih realistis ketimbang memaksakan unifikasi di tengah ketegangan militer.

Pelajaran dari Taiwan dan Korea Selatan yang mampu mengelola kondisi pemerintahan terpisah justru mendorong pertumbuhan ekonomi, patut menjadi contoh. Kunci keberhasilannya adalah keterbukaan investasi, pembangunan infrastruktur, serta kebijakan ekonomi adaptif di masing-masing kawasan.

Sudan sebenarnya bisa belajar dari pengalaman ini. Meski memiliki dua kekuatan politik yang bertikai, solusi sementara bisa dilakukan dengan mengatur jalur perdagangan terbuka, sistem mata uang ganda yang disepakati bersama, atau bahkan zona ekonomi bersama di perbatasan untuk meredam dampak perpecahan.

Para analis khawatir jika ketegangan Sudan berlanjut tanpa rekonsiliasi ekonomi, RSF bisa mencetak mata uang sendiri atau beralih ke mata uang negara tetangga. Hal ini dikhawatirkan akan menciptakan pemerintahan paralel dan krisis finansial berkepanjangan, seperti yang pernah terjadi di Libya pasca-2014.

Pada dasarnya, rakyat adalah pihak yang paling dirugikan dalam konflik internal berkepanjangan. Seperti laporan media setempat, banyak warga Sudan kini dihadapkan pada risiko kehilangan tabungan dan nyawa karena terpaksa bepergian antar-wilayah demi menukarkan uang lama.

Isolasi ekonomi seperti ini justru bisa memperbesar peluang aktor luar untuk masuk memperkeruh situasi, apalagi kawasan Afrika Timur kerap menjadi ajang perebutan pengaruh antara blok Barat, China, dan Rusia. Hal itu makin memperkuat urgensi Sudan untuk segera menemukan titik temu.

Di sisi lain, pengalaman Suriah, Libya, dan Yaman menunjukkan bahwa sistem pemerintahan ganda tidak selamanya buruk jika dikelola dengan niat memprioritaskan rakyat. Pemberdayaan ekonomi lokal, pertukaran barang antardaerah, hingga program kesehatan lintas wilayah tetap bisa berjalan meski tanpa kesatuan politik.

Negara-negara di kawasan rawan konflik seharusnya mulai mempertimbangkan skema administrasi paralel sementara. Fokusnya bukan sekadar menunggu kesepakatan damai, tapi membangun ekonomi rakyat agar tidak sepenuhnya tergantung pada keputusan elite politik yang kerap berubah.

Jalan rekonsiliasi ekonomi bisa menjadi pintu masuk perdamaian politik di masa depan. Jika rakyat di kedua wilayah bisa hidup layak, maka desakan untuk unifikasi damai akan lahir secara alami, tanpa paksaan, sebagaimana yang terjadi dalam banyak negara terbelah di era modern.

Dalam situasi global saat ini, di mana ketegangan geopolitik makin kompleks, model pengelolaan negara terpisah yang pragmatis dan pro-rakyat mungkin menjadi pilihan realistis, ketimbang terus mempertahankan konflik yang justru mengorbankan generasi mendatang.

Powered by Blogger.