Minggu, 29 Juli 2007 00:01 WIB
Mandailing Antara Fakta Dan Lagenda. (Bagian II)
WASPADA Online.
Oleh Farizal Nasution
Keberadaan Mandailing bukan datang dengan sendirinya tetapi mengalami suatu proses. Selepas Pidoli dibumi hangus, bangsa Munda yang bercampuraduk dengan penduduk asli telah membentuk marga Pulungan dan mendirikan kerajaan di Huta Bargot. Kerajaan ini telah dikalahkan oleh Sutan Diaru dari marga Nasution yang berasal dari Pagaruyung. Sutan Diaru mendirikan kerajaan di Panyabungan dan memerintah seluruh Mandailing Godang. Oleh karena Sutan Diaru itu adalah seorang putera yang ditemui di bawah pokok beringin di tepi Aek Batang Gadis ibunya pula tidak diketahui maka kerajaan tersebut dikenal sebagai kerajaan Mande Nan Hilang Mandehilang atau ibu yang hilang dan akhirnya sebutan tersebut menjadi Mandailing mengikut loghat orang minang.
Dalam syair Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca tidak bisa dipisahkan dalam menyelusuri Mandailing sebab dalam syair ke-13 Kakawin terdapat kata kampe Harw athawe Mandailing i Tumihang Parlak mwang i Barat. Dengan adanya kata Mandailing merupakan bukti sejarah bahwa Mandailing menjadi perhitungan di nusantara ini. Sebab keberadaan Mandailing memang dijuluki sebagai wilayah yang kuat dan solid dalam peradabannya. Sebab nama Mandailing memang tidak ada duanya di Indonesia ini, unik dan misteri lagi. Dalam abad ke-14 sekitar tahun 1365 orang mandailing memiliki peradaban yang maju sehingga menjadi perhitungan bagi raja-raja Jawa. Sebelum lahirnya kerajaan Majapahit Mandailing telah ada walau sebuah kampung yang dihuni oleh beberapa orang dengan rajanya. Sehingga lama kelamaan kerajaan ini menjadi besar dan lahirlah kerajaan Majapahit yang memang besar dan kuat. Kerajaan Mandailing pada waktu itu memang besar di akibatkan oleh mas. Mas merupakan penghasilan penduduk sebab di wilayah ini memang kaya akan hasil tambangnya. Sehingga masyarakatnya makmur dan mampu menghidupkan dirinya sendiri. Tanpa harus expansi ke wilayah lain. Sehingga pada waktu itu Mandailing dikenal sebutan tano sere yang artinya tanah emas dalam cerita-cerita lama.
Daerah Mandailing Julu (kini disebut Kotanopan) sampai kini ditemukan tepat yang bernama garabak ni agom seperti di sekitar Huta na Godang. Nama itu diberikan kepada bekas tempat-tempat orang agam (Minangkabau) menambang mas di masa dahulu di Mandailing Julu, yaitu dekat Muarasipongi. Tano sere sebagai bukti Mandailing kaya dengan mas sehingga kerajaan Mandailing tetap jaya sebab tidak memerlukan bantuan dari wilayah lain untuk membangun kerajaannya. Nama Mandailing sebenarnya sudah disebut dalam kesusastraan Toba Tua yang klasik yang disebut di dalam Tonggo Tonggo Si Boru Deak Parajar yang terdiri dari 10 pasal. Di dalam kesusastraan tersebut tertulis Mandailing. Konon menurut cerita dalam buku Sutan Kumala Bulan yang ditulis oleh H. Mhd. Said menjelaskan sebagai berikut : Diperhatikan dari adanya bangunan bersejarah terdiri dari biaro-biaro di Padang Lawa dapat diyakini pertumbuhan masyarakat yang berbudaya di wilayah itu masih berabad-abad lebih tua dari zaman Prapanca. Serangan Rajendra Gola dari India di tahun 1023 – 24 M, antara lain ke Panai misalnya, menunjukkan perlunya suatu ekspedisi militer untuk menaklukkan kerajaan tersebut. Panai diperkirakan lokasinya di hulu sungai Barumun, ditandai dengan adanya nama Batang Pane dan anggota masyarakat yang bermarga Pane di Angkola Sipirok.
Bila menyelusuri jejak kerajaan Mandailing tidak bisa lepas dari kerajaan yang menguasai daerah mulai dari Portibi di Gunung Tua Padang Lawas sampai ke daerah Pidoli di Mandailing. Sebab semua pusat kerajaan ini terletak di Portibi Gunung Tua dengan adanya bukti-bukti candi-candi purba. Dengan serangan pasukan Majapahit karena melihat kerajaan Mandailing menjadi besar kemudian pusat pemerintahan kerajaan tersebut dipindahkan ke Piu di daerah Mandailing (dekat kota Panyabungan yang sekaang). Ini dibuktikan pada masa silam di daerah Pidoli ini terdapat juga candi-candi purba. Namun demikian bukti ini (candi-candi ini) keburu dihancurkan oleh pasukan Islam di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol ratusan tahun yang lalu. namun reruntuhan candi-candi masih membekas di beberapa tempat seperti di Saba Biaro Pidoli dan Simangambat yakni Pidoli terletak di Panyabungan dan Simangambat di Siabu. Dalam sebuah surat uang dikenal Surat Tumbago Holing berdasarkan informasi masyarakat memang ada tetapi belum diketahui orang. Menurut orang tua di daerah Mandailing bahwa surat Tumbago Hilang ialah surat perjanjian yang dibuat oleh seorang raja di Mandailing dengan Belanda. Bila surat itu ada berarti baru lahir abad ke XIX. Rasanya terlalu mudah kejadiannya. Namun ada yang menafsirkan Surat Tumbago Holing ini ialah surat Emas dari bangsa Keling suatu surat yang isinya mengajarkan kebaikan kepada masyarakat di tempat itu zaman dahulu kala sedangkan dari agama Hindu merupakan surat perjanjian yang berbentuk undang-undang untuk dihayati yang bersumber dari buku kepercayaan mereka. Konon dari cerita legenda yang berkembang sampai kini dan masih dipercaya masyarakat setempat pada zaman dahulu kala di mana pagi masih berkabut. Langit terlihat remang-remang berselimut awan kelabu. Burung-burung mulai berkicau menyambut sang surya di ufuk timur. Saat itu terlihat ibu-ibu dan gadis-gadis tanggung pergi ke tepian.
Mereka hendak mencuci atau sekedar mengambil air.
Dari kejauhan terlihat sekelompok orang-orang berjalan menyusuri jalan setapak. Bila diperhatikan gaya penampilan dan bahasanya mereka adalah orang-orang asing. Mereka terlihat berjalan kepayahan sebab sudah sangat jauh yang ditempuhnya. Mereka seolah-olah ketakutan. Mereka ada yang membawa barang miliknya, kayaknya seperti orang hendak mengungsi. Orang-orang bertanya-tanya tentang orang yang belum dikenal mereka. Sekelompok orang tadi mengenalkan dirinya mereka berasal dari negeri India Selatan. Datang ke sini untuk menyelamatkan diri. Sebab negeri mereka dalam bahaya karena diserang bangsa Aria. Mereka berharap dapat menginap di daerah sini yakni Mandailing. Orang kampung menyetujuinya sebab orang dalam kesusahan harus ditolong. Sekelompok orang tadi senang sekali sebab mereka juga menikmati sungai Barumun yang jernih dan bersih. Rupanya diantara mereka ada yang menemukan emas sewaktu bermain pasir di tepian. Benda itu berwarna kuning berkilau. Kalau begitu sungai ini banyak emasnya. Sebab harganya sangat tinggi.
Dengan ditemukanya emas tadi maka beramai-ramai mereka memulai mendulang emas. Mereka saling menyelusuri tepian sungai Batang Gadis. Ternyata mereka berhasil menemukan emas lagi. Tepian sungai yang semula sunyi itu makin hari bertambah ramai. Mereka menyelam ke sungai mencari barang berharga. Mendulang emas sebagai mata pencaharian. Makin hari bukan saja warga pengungsi, warga setempat juga turun mendulang emas. Bahkan orang-orang dari Minangkabau turut bagian. Mereka tidak mau ketinggalan untuk memperoleh emas murni yang sangat berharga itu. Terutama sekali para ibu-ibu yang di sana disebut mande. Dengan keadaan yang demikian menyebabkan tepian sungai Batang Gadis banyak mendirikan pondok-pondok. Sebab mereka terlalu jauh untuk ke kampungnya. Dari hari ke hari tepian sungai itu banyak berdiri rumah-rumah. Kebanyakan penghuninya bermata pencaharian mendulang emas. Sehingga tempat itu semakin terkenal. Dengan demikian tempat inilah asal berdirinya kerajaan kecil di Mandailing. Tepatnya sekitar tepian sungai Batang Gadis. Dengan munculnya kerajaan-kerajaan kecil, wajar menjadi sasaran penyerangan dari kerajaan lain.
Kerajaan Majapahit datang atas perintah Hayam Wuruk. Terjadilah peperangan kecil terjadi. Pasukan raja-raja di tepian Batang Gadis menghalau pasukan Majapahit. Mereka sama sama kuat. Bagaimanapun kecilnya peperangan, kerugian di pihak rakyat pasti ada. Mereka berhamburan meninggalkan rumah mereka. Untuk menyelamatkan diri, bermukim di tempat yang aman. Orang-orang Munda sebagai pengungsi tidak terhindar dari gangguan ini. Mereka turut pindah ke tempat lain. Saat itu penduduk asli mereka kehilangan sajabat karir sebab selama ini mereka sering mendulang emas bersama-sama. Dari kisah hilangnya orang-orang Munda ini, seolah-olah mereka kehilangan sehingga mereka menyebut Munda Hilang. Dan dari tahun ke tahun kata-kata Munda. Hilang menjadi Mandailing.
Mandailing Antara Fakta Dan Lagenda. (Bagian II)
WASPADA Online.
Oleh Farizal Nasution
Keberadaan Mandailing bukan datang dengan sendirinya tetapi mengalami suatu proses. Selepas Pidoli dibumi hangus, bangsa Munda yang bercampuraduk dengan penduduk asli telah membentuk marga Pulungan dan mendirikan kerajaan di Huta Bargot. Kerajaan ini telah dikalahkan oleh Sutan Diaru dari marga Nasution yang berasal dari Pagaruyung. Sutan Diaru mendirikan kerajaan di Panyabungan dan memerintah seluruh Mandailing Godang. Oleh karena Sutan Diaru itu adalah seorang putera yang ditemui di bawah pokok beringin di tepi Aek Batang Gadis ibunya pula tidak diketahui maka kerajaan tersebut dikenal sebagai kerajaan Mande Nan Hilang Mandehilang atau ibu yang hilang dan akhirnya sebutan tersebut menjadi Mandailing mengikut loghat orang minang.
Dalam syair Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca tidak bisa dipisahkan dalam menyelusuri Mandailing sebab dalam syair ke-13 Kakawin terdapat kata kampe Harw athawe Mandailing i Tumihang Parlak mwang i Barat. Dengan adanya kata Mandailing merupakan bukti sejarah bahwa Mandailing menjadi perhitungan di nusantara ini. Sebab keberadaan Mandailing memang dijuluki sebagai wilayah yang kuat dan solid dalam peradabannya. Sebab nama Mandailing memang tidak ada duanya di Indonesia ini, unik dan misteri lagi. Dalam abad ke-14 sekitar tahun 1365 orang mandailing memiliki peradaban yang maju sehingga menjadi perhitungan bagi raja-raja Jawa. Sebelum lahirnya kerajaan Majapahit Mandailing telah ada walau sebuah kampung yang dihuni oleh beberapa orang dengan rajanya. Sehingga lama kelamaan kerajaan ini menjadi besar dan lahirlah kerajaan Majapahit yang memang besar dan kuat. Kerajaan Mandailing pada waktu itu memang besar di akibatkan oleh mas. Mas merupakan penghasilan penduduk sebab di wilayah ini memang kaya akan hasil tambangnya. Sehingga masyarakatnya makmur dan mampu menghidupkan dirinya sendiri. Tanpa harus expansi ke wilayah lain. Sehingga pada waktu itu Mandailing dikenal sebutan tano sere yang artinya tanah emas dalam cerita-cerita lama.
Daerah Mandailing Julu (kini disebut Kotanopan) sampai kini ditemukan tepat yang bernama garabak ni agom seperti di sekitar Huta na Godang. Nama itu diberikan kepada bekas tempat-tempat orang agam (Minangkabau) menambang mas di masa dahulu di Mandailing Julu, yaitu dekat Muarasipongi. Tano sere sebagai bukti Mandailing kaya dengan mas sehingga kerajaan Mandailing tetap jaya sebab tidak memerlukan bantuan dari wilayah lain untuk membangun kerajaannya. Nama Mandailing sebenarnya sudah disebut dalam kesusastraan Toba Tua yang klasik yang disebut di dalam Tonggo Tonggo Si Boru Deak Parajar yang terdiri dari 10 pasal. Di dalam kesusastraan tersebut tertulis Mandailing. Konon menurut cerita dalam buku Sutan Kumala Bulan yang ditulis oleh H. Mhd. Said menjelaskan sebagai berikut : Diperhatikan dari adanya bangunan bersejarah terdiri dari biaro-biaro di Padang Lawa dapat diyakini pertumbuhan masyarakat yang berbudaya di wilayah itu masih berabad-abad lebih tua dari zaman Prapanca. Serangan Rajendra Gola dari India di tahun 1023 – 24 M, antara lain ke Panai misalnya, menunjukkan perlunya suatu ekspedisi militer untuk menaklukkan kerajaan tersebut. Panai diperkirakan lokasinya di hulu sungai Barumun, ditandai dengan adanya nama Batang Pane dan anggota masyarakat yang bermarga Pane di Angkola Sipirok.
Bila menyelusuri jejak kerajaan Mandailing tidak bisa lepas dari kerajaan yang menguasai daerah mulai dari Portibi di Gunung Tua Padang Lawas sampai ke daerah Pidoli di Mandailing. Sebab semua pusat kerajaan ini terletak di Portibi Gunung Tua dengan adanya bukti-bukti candi-candi purba. Dengan serangan pasukan Majapahit karena melihat kerajaan Mandailing menjadi besar kemudian pusat pemerintahan kerajaan tersebut dipindahkan ke Piu di daerah Mandailing (dekat kota Panyabungan yang sekaang). Ini dibuktikan pada masa silam di daerah Pidoli ini terdapat juga candi-candi purba. Namun demikian bukti ini (candi-candi ini) keburu dihancurkan oleh pasukan Islam di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol ratusan tahun yang lalu. namun reruntuhan candi-candi masih membekas di beberapa tempat seperti di Saba Biaro Pidoli dan Simangambat yakni Pidoli terletak di Panyabungan dan Simangambat di Siabu. Dalam sebuah surat uang dikenal Surat Tumbago Holing berdasarkan informasi masyarakat memang ada tetapi belum diketahui orang. Menurut orang tua di daerah Mandailing bahwa surat Tumbago Hilang ialah surat perjanjian yang dibuat oleh seorang raja di Mandailing dengan Belanda. Bila surat itu ada berarti baru lahir abad ke XIX. Rasanya terlalu mudah kejadiannya. Namun ada yang menafsirkan Surat Tumbago Holing ini ialah surat Emas dari bangsa Keling suatu surat yang isinya mengajarkan kebaikan kepada masyarakat di tempat itu zaman dahulu kala sedangkan dari agama Hindu merupakan surat perjanjian yang berbentuk undang-undang untuk dihayati yang bersumber dari buku kepercayaan mereka. Konon dari cerita legenda yang berkembang sampai kini dan masih dipercaya masyarakat setempat pada zaman dahulu kala di mana pagi masih berkabut. Langit terlihat remang-remang berselimut awan kelabu. Burung-burung mulai berkicau menyambut sang surya di ufuk timur. Saat itu terlihat ibu-ibu dan gadis-gadis tanggung pergi ke tepian.
Mereka hendak mencuci atau sekedar mengambil air.
Dari kejauhan terlihat sekelompok orang-orang berjalan menyusuri jalan setapak. Bila diperhatikan gaya penampilan dan bahasanya mereka adalah orang-orang asing. Mereka terlihat berjalan kepayahan sebab sudah sangat jauh yang ditempuhnya. Mereka seolah-olah ketakutan. Mereka ada yang membawa barang miliknya, kayaknya seperti orang hendak mengungsi. Orang-orang bertanya-tanya tentang orang yang belum dikenal mereka. Sekelompok orang tadi mengenalkan dirinya mereka berasal dari negeri India Selatan. Datang ke sini untuk menyelamatkan diri. Sebab negeri mereka dalam bahaya karena diserang bangsa Aria. Mereka berharap dapat menginap di daerah sini yakni Mandailing. Orang kampung menyetujuinya sebab orang dalam kesusahan harus ditolong. Sekelompok orang tadi senang sekali sebab mereka juga menikmati sungai Barumun yang jernih dan bersih. Rupanya diantara mereka ada yang menemukan emas sewaktu bermain pasir di tepian. Benda itu berwarna kuning berkilau. Kalau begitu sungai ini banyak emasnya. Sebab harganya sangat tinggi.
Dengan ditemukanya emas tadi maka beramai-ramai mereka memulai mendulang emas. Mereka saling menyelusuri tepian sungai Batang Gadis. Ternyata mereka berhasil menemukan emas lagi. Tepian sungai yang semula sunyi itu makin hari bertambah ramai. Mereka menyelam ke sungai mencari barang berharga. Mendulang emas sebagai mata pencaharian. Makin hari bukan saja warga pengungsi, warga setempat juga turun mendulang emas. Bahkan orang-orang dari Minangkabau turut bagian. Mereka tidak mau ketinggalan untuk memperoleh emas murni yang sangat berharga itu. Terutama sekali para ibu-ibu yang di sana disebut mande. Dengan keadaan yang demikian menyebabkan tepian sungai Batang Gadis banyak mendirikan pondok-pondok. Sebab mereka terlalu jauh untuk ke kampungnya. Dari hari ke hari tepian sungai itu banyak berdiri rumah-rumah. Kebanyakan penghuninya bermata pencaharian mendulang emas. Sehingga tempat itu semakin terkenal. Dengan demikian tempat inilah asal berdirinya kerajaan kecil di Mandailing. Tepatnya sekitar tepian sungai Batang Gadis. Dengan munculnya kerajaan-kerajaan kecil, wajar menjadi sasaran penyerangan dari kerajaan lain.
Kerajaan Majapahit datang atas perintah Hayam Wuruk. Terjadilah peperangan kecil terjadi. Pasukan raja-raja di tepian Batang Gadis menghalau pasukan Majapahit. Mereka sama sama kuat. Bagaimanapun kecilnya peperangan, kerugian di pihak rakyat pasti ada. Mereka berhamburan meninggalkan rumah mereka. Untuk menyelamatkan diri, bermukim di tempat yang aman. Orang-orang Munda sebagai pengungsi tidak terhindar dari gangguan ini. Mereka turut pindah ke tempat lain. Saat itu penduduk asli mereka kehilangan sajabat karir sebab selama ini mereka sering mendulang emas bersama-sama. Dari kisah hilangnya orang-orang Munda ini, seolah-olah mereka kehilangan sehingga mereka menyebut Munda Hilang. Dan dari tahun ke tahun kata-kata Munda. Hilang menjadi Mandailing.