Pasca tumbangnya rezim Bashar al-Assad di Suriah, nasib berbagai perusahaan yang dahulu berada di bawah kendali keluarga penguasa itu mulai menjadi sorotan. Salah satu sektor paling strategis adalah telekomunikasi, yang sejak awal dikuasai oleh lingkaran dekat Istana Kepresidenan. Syriatel dan MTN Syria, dua operator utama di negara itu, sempat lumpuh setelah para karyawannya meninggalkan kantor selama beberapa hari di tengah kekacauan politik yang terjadi.
Setelah suasana sedikit mereda, sejumlah karyawan mulai kembali ke kantor. Namun perusahaan-perusahaan ini menghadapi situasi baru, tanpa perlindungan politik yang selama ini mereka nikmati. Di tengah kekosongan kepemimpinan dan ketidakpastian hukum, muncul sejumlah nama perusahaan baru yang mencoba mengambil alih peran strategis di sektor telekomunikasi Suriah.
Salah satu perusahaan yang paling menonjol adalah Al-Mujtahid for Technical Services. Perusahaan ini tiba-tiba muncul ke permukaan dengan portofolio bisnis yang sangat luas, mulai dari pemasangan menara pengawas, pengembangan jaringan serat optik, hingga perdagangan furnitur rumah tangga. Langkah agresif Al-Mujtahid menimbulkan kekhawatiran akan terulangnya praktik monopoli dan akuisisi paksa seperti yang dulu terjadi di era rezim Assad.
Sebelum rezim tumbang, perusahaan-perusahaan seperti Syriatel dan MTN Syria bukan sekadar operator telekomunikasi biasa. Mereka menjadi alat kekuasaan, digunakan untuk menyadap, mengawasi, dan meredam suara-suara kritis di seluruh negeri. Percakapan sepele pun bisa dipantau oleh badan intelijen seperti Direktorat Intelijen Angkatan Udara, sebuah warisan kelam yang mulai terkuak setelah sejumlah dokumen rahasia berhasil diselamatkan dari kebakaran di Damaskus.
Telekomunikasi di Suriah sejak lama berfungsi sebagai alat kontrol sosial, bukan sekadar sarana komunikasi publik. Sektor ini menghasilkan setidaknya 12 persen pendapatan negara, sekaligus menjadi jalur utama bagi aliansi bisnis dan politik di lingkaran dalam Assad. Pewaris sektor ini saat ini harus menghadapi warisan rumit berupa kontrak-kontrak tersembunyi, uang gelap, dan hubungan dengan jaringan kriminal internasional.
Pertarungan memperebutkan sektor telekomunikasi dimulai sejak bentrokan internal antara Istana Kepresidenan dan Rami Makhlouf, sepupu Assad, pada 2018. Saat itu, Makhlouf yang menguasai Syriatel dipaksa menyerahkan kendali perusahaan ke istana. Setelah itu, sejumlah perusahaan bayangan seperti Al-Burj for Investment, Opal Planet, dan Space Tel didirikan untuk mengendalikan sektor ini secara tidak langsung.
Selama bertahun-tahun, perusahaan-perusahaan tersebut menjadi gerbang bagi kontrak-kontrak curang yang mendatangkan investor dari negara-negara Teluk. Langkah ini menjadi penyelamat bagi rezim Assad yang keuangannya terpuruk akibat sanksi internasional dan biaya perang yang membengkak. Kepemilikan perusahaan-perusahaan ini tersebar di tangan nama-nama loyalis Assad yang telah masuk dalam daftar sanksi internasional.
Ketika operator ketiga, WafaTel, diumumkan pada 2021, publik mulai curiga. Perusahaan ini ternyata memiliki hubungan erat dengan Garda Revolusi Iran dan dipasok peralatan dari perusahaan Rusia Portel. Beberapa peralatan bahkan disalurkan diam-diam ke Iran, tanpa ada catatan resmi yang bisa diakses publik.
Setelah kejatuhan Assad, yang tersisa dari WafaTel hanya logo dan gedung kosong di Damaskus. Para karyawannya menerima gaji dua bulan terakhir sebelum operasionalnya benar-benar dihentikan. Kekosongan itu segera diisi oleh pihak-pihak baru yang mencoba merebut kendali atas jaringan komunikasi nasional.
Kekacauan makin parah saat para taipan pro-Assad seperti Mansour Azzam dan Ahmad Khalil kabur ke luar negeri. Uang, dokumen, dan data perusahaan dibawa lari keluar Suriah. Sementara itu, administrasi baru di Damaskus dipimpin oleh Ahmad al-Sharaa, seorang figur kompromi yang terpaksa mewarisi negara dengan kas kosong dan sistem birokrasi yang kacau.
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi pemerintahan baru adalah memindahkan aset dan dana perusahaan-perusahaan telekomunikasi yang masih tersangkut di bank-bank dalam negeri. Sementara pihak-pihak yang berwenang untuk memindahkan uang berada di pengasingan, administrasi sementara hanya bisa mengirim surat permohonan ke Bank Sentral untuk membuka akses ke rekening perusahaan-perusahaan tersebut.
Sejumlah perusahaan seperti Al-Burj Al-Dhahabi dan Opal sempat berhenti beroperasi selama beberapa hari, sebelum kembali beraktivitas dengan wajah baru. Seluruh aset perusahaan, termasuk kendaraan operasional dan kontrak-kontrak lama, tetap dipertahankan tetapi kini berada di bawah nama perusahaan baru: Al-Mujtahid for Technical Services.
Menurut dokumen yang berhasil diperoleh, perusahaan baru ini didaftarkan dengan modal minimum yang diperbolehkan hukum Suriah. Bidang usahanya sangat luas, mulai dari pengembangan jaringan komunikasi, pemasangan radar, hingga jasa dekorasi interior dan penjualan furnitur grosir. Anehnya, para pemilik perusahaan ini adalah nama-nama tak dikenal yang tak tercatat di arsip bisnis mana pun.
Seorang pejabat senior di MTN Syria mengaku bahwa saat ini perusahaan itu berusaha keras untuk menolak kontrak-kontrak kerja sama dengan Al-Mujtahid. Mereka berharap tidak akan mengalami tekanan dan ancaman seperti yang mereka alami di era rezim Assad, ketika perusahaan-perusahaan bayangan memaksa mereka tunduk melalui intimidasi dan manipulasi hukum.
Sumber-sumber yang memahami peta ekonomi di Damaskus menyebut bahwa sebagian pendapatan dari perusahaan Al-Mujtahid digunakan untuk membiayai gaji Kementerian Dalam Negeri, yang masih dikecualikan dari hibah bantuan Qatar dan Arab Saudi. Situasi ini memunculkan kekhawatiran bahwa pola lama penjarahan dana publik melalui perusahaan bayangan kembali berulang.
Upaya untuk mendapatkan konfirmasi langsung dari Al-Mujtahid for Technical Services sejauh ini belum membuahkan hasil. Nomor telepon yang tertera di dokumen pendaftaran perusahaan tidak pernah aktif, sementara pejabat Kementerian Komunikasi menolak berbicara kepada pers, menyatakan situasi saat ini belum memungkinkan untuk keterbukaan informasi.
Kebijakan ekonomi administrasi Ahmad al-Sharaa pun masih belum jelas arahnya. Apalagi dengan kembalinya beberapa figur lama seperti Mohammad Hamsho ke kancah bisnis, menambah kekhawatiran bahwa sisa-sisa jaringan bisnis Assad masih akan terus beroperasi di balik layar, memanfaatkan kekosongan hukum yang belum tertata.
Bank Sentral Suriah hingga kini belum mengumumkan secara resmi tentang status rekening perusahaan-perusahaan yang terkait dengan rezim lama. Meski sebagian aset dikabarkan telah dibekukan sejak Januari, belum ada langkah hukum ataupun pengungkapan publik terhadap operasional dan kepemilikan perusahaan-perusahaan tersebut.
Kondisi ini memperlihatkan betapa rapuhnya transisi kekuasaan di Suriah. Meski rezim Assad telah tumbang, jejaring bisnis dan kontrol ekonomi yang mereka bangun selama puluhan tahun masih tetap bercokol. Pemerintahan baru pun tampak masih kesulitan menentukan sikap terhadap warisan kelam ini.
Jika situasi ini dibiarkan tanpa kejelasan hukum dan keadilan transisional, besar kemungkinan skenario monopoli bisnis gaya lama akan terulang kembali. Alih-alih membersihkan sektor vital seperti telekomunikasi dari pengaruh kroni lama, justru wajah-wajah baru dengan metode lama kembali menguasai panggung.