News

terkaya

Titulo

Sunyi Bencana Sumatera, Ancaman Kohesi Bangsa?

Bencana yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dalam beberapa bulan terakhir ternyata masih minim mendapat perhatian nasional. Masyarakat di daerah terdampak merasakan sendiri bagaimana penderitaan mereka jarang disorot media, baik televisi maupun media digital. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah negara dan publik Indonesia menganggap bencana ini remeh?

Tidak sedikit warga yang menilai, minimnya sorotan media sosial dan berita nasional membuat kesan bahwa bencana di Sumatera dianggap tidak penting. Padahal dampaknya nyata, ribuan warga kehilangan tempat tinggal, akses pangan terganggu, dan infrastruktur vital rusak parah. Namun, algoritma media sosial yang mengutamakan konten viral membuat bencana ini sulit menembus feed publik.

Influencer digital, yang selama ini menjadi penggerak opini publik, jarang menyoroti peristiwa ini. Hanya satu dua tokoh yang menanggapi, sementara sebagian besar memilih konten hiburan atau politik yang lebih mudah mendulang interaksi. Akibatnya, suara korban tidak terdengar secara luas, dan isu bencana tetap “sunyi”.

Media televisi nasional pun tidak menjadikannya headline. Liputan bencana di Sumatera kerap kalah oleh isu kriminal, politik, atau peristiwa yang lebih dramatis secara visual. Akibatnya, masyarakat di Jawa dan kota-kota besar lain jarang mendapat informasi mendalam tentang kondisi di lapangan.

Ketidakadilan ini menimbulkan efek psikologis. Warga terdampak mulai merasa diabaikan, dan muncul rasa frustrasi yang lambat laun bisa menjadi apatisme. Banyak korban menyatakan, “Kalau nanti terjadi bencana di daerah lain, kita juga tidak perlu peduli.”

Fenomena ini bisa menjadi indikator keretakan sosial dan politik. Solidaritas antardaerah adalah fondasi penting dalam menjaga kohesi bangsa. Ketika sebagian warga merasa diabaikan, rasa saling percaya antarwarga dan terhadap negara bisa melemah.

Kerentanan sosial ini diperparah oleh ketidakmerataan perhatian media. Isu yang terjadi di luar pusat politik dan ekonomi nasional sering membutuhkan dorongan ekstra untuk menjadi sorotan publik. Tanpa itu, bencana besar sekalipun bisa tersingkir dari perhatian nasional.

Ketidakpastian ini juga diperburuk oleh kultur digital Indonesia yang cepat berganti fokus. Isu hanya bertahan sebentar di media sosial jika tidak ada narasi kuat atau visual yang dramatis. Algoritma menurunkan visibilitas konten, dan masyarakat tidak mendapat pemahaman menyeluruh tentang dampak bencana.

Peran pemerintah daerah menjadi sangat penting. Banyak kabupaten dan kota terdampak belum memiliki sistem komunikasi krisis yang baik, sehingga informasi tidak mudah dijangkau media nasional. Akibatnya, bencana tampak sunyi, padahal situasi di lapangan memprihatinkan.

Pemerintah pusat memiliki tanggung jawab besar dalam konteks ini. Respons cepat, transparansi, dan distribusi bantuan yang merata harus menjadi prioritas. Sistem peringatan dini dan update situasi harus mudah diakses oleh publik agar kesadaran nasional terbentuk.

Kolaborasi dengan media nasional juga perlu ditingkatkan. Liputan yang menyeluruh dan merata akan memastikan masyarakat di luar daerah terdampak ikut merasakan urgensi bencana. Hal ini penting untuk menumbuhkan solidaritas sosial yang nyata.

Selain itu, pemerintah dapat memanfaatkan influencer dan tokoh masyarakat untuk menyebarkan pesan kemanusiaan. Kampanye kesadaran nasional dapat membantu menanamkan budaya peduli yang lebih luas, tidak bergantung pada viralitas konten digital semata.

Distribusi bantuan yang adil dan transparan juga menjadi kunci. Jika warga melihat bahwa respons pemerintah merata di semua daerah, persepsi ketidakadilan dan pengabaian bisa diminimalkan. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah akan tetap terjaga.

Narasi nasional harus inklusif. Setiap korban bencana, di mana pun berada, harus dianggap bagian dari bangsa yang sama. Solidaritas ini bukan hanya moral, tetapi strategi menjaga stabilitas sosial dan politik.

Ketidakpedulian terhadap bencana di satu wilayah bisa menimbulkan fragmentasi sosial di masa depan. Oleh karena itu, pemerintah harus menegaskan pesan bahwa seluruh wilayah dan warganya sama pentingnya.

Krisis ini juga membuka peluang reformasi komunikasi bencana. Penerapan teknologi, media digital, dan sistem informasi publik yang baik dapat memastikan setiap peristiwa besar teramplifikasi secara merata.

Masyarakat juga berperan dalam membangun solidaritas. Partisipasi aktif, donasi, dan penyebaran informasi bencana melalui jejaring sosial dapat membantu mengurangi kesan sunyi dan diabaikan.

Pendidikan dan literasi digital perlu ditingkatkan agar masyarakat tidak menilai pentingnya bencana hanya berdasarkan trending topic atau viralitas konten. Empati dan kepedulian harus menjadi dasar.

Jika langkah-langkah ini dilakukan, ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah dan antarwarga bisa diminimalkan. Solidaritas nasional akan terjaga, dan rasa diabaikan oleh media serta pemerintah dapat dikurangi.

Fenomena bencana sunyi ini menjadi pengingat penting bahwa bangsa Indonesia perlu menumbuhkan budaya peduli yang merata. Ketimpangan perhatian bukan hanya masalah media, tetapi masalah integritas sosial dan politik.

Akhirnya, bencana di Aceh, Sumut, dan Sumbar harus dijadikan momentum bagi pemerintah dan masyarakat untuk memperkuat kohesi nasional. Solidaritas, transparansi, dan komunikasi yang baik adalah kunci agar tidak muncul keretakan bernegara di masa depan.

Powered by Blogger.