News

terkaya

Titulo

Membedah Politik Marga dan Suku di Beberapa Negara

Tidak ada bukti bahwa sistem berbasis etnis secara otomatis lebih damai dibanding berbasis marga/klan. Keduanya hanya alat organisasi politik; yang menentukan damai atau tidak adalah bagaimana kekuasaan, sumber daya, dan keamanan dikelola.

Penjelasannya perlu dibedah Somalia dan Ethiopia secara paralel.

Di Somalia, politik berbasis klan/marga berakar dalam struktur sosial pra-negara. Klan berfungsi sebagai asuransi sosial, sistem hukum (xeer), dan jaringan perlindungan. Ketika negara runtuh, klan mengisi kekosongan, sehingga konflik bersifat horizontal dan terfragmentasi, tetapi sekaligus memungkinkan rekonsiliasi lokal karena klan punya mekanisme adat untuk berdamai.

Masalahnya, klan tidak cocok untuk negara modern. Ketika kursi presiden, parlemen, dan anggaran dibagi berdasarkan marga, negara berubah menjadi koalisi elite klan, bukan institusi nasional. Ini menciptakan stabilitas semu, tapi mudah pecah ketika keseimbangan klan terganggu.

Di Ethiopia, sistem berbasis etnis diinstitusionalisasi secara konstitusional sejak 1995. Negara dibagi ke dalam region etnis dengan hak otonomi, bahkan hak memisahkan diri. Ini awalnya meredam pemberontakan, karena kelompok etnis merasa diakui secara resmi.

Namun, justru karena dilegalkan negara, politik etnis Ethiopia menghasilkan konflik lebih teritorial dan eksistensial. Ketika konflik terjadi, yang dipertaruhkan bukan hanya elite, tapi wilayah, identitas, dan batas administratif. Dampaknya cenderung lebih luas dan mematikan, seperti di Tigray, Oromia, atau Amhara.

Dari sisi kekerasan, konflik etnis sering lebih brutal dibanding konflik klan. Konflik klan biasanya cair dan bisa dinegosiasikan ulang, sementara konflik etnis terlembagakan dalam hukum, peta, dan birokrasi negara sehingga sulit ditarik mundur.

Dari sisi stabilitas jangka pendek, politik klan seperti di Somalia lebih lentur, tapi menghambat lahirnya negara kuat. Politik etnis seperti Ethiopia lebih rapi secara administratif, tetapi berisiko pecah besar ketika pusat melemah.

Yang menentukan damai bukan klan atau etnis, melainkan: apakah negara monopoli senjata, apakah distribusi sumber daya adil, apakah identitas tidak dipolitisasi berlebihan, dan apakah ada institusi hukum yang dipercaya.

Ironisnya, Ethiopia yang “lebih modern” justru mengalami perang saudara besar, sementara Somalia yang terfragmentasi kadang lebih stabil secara lokal meski gagal secara nasional. Ini menunjukkan etnis tidak lebih damai dari marga; ia hanya lebih terorganisir.

Kesimpulannya, politik berbasis etnis bukan solusi damai dibanding marga. Keduanya berbahaya jika dijadikan fondasi utama negara. Sistem paling stabil biasanya mengakui identitas, tetapi tidak membangun kekuasaan negara di atas identitas itu. Jika Anda mau, saya bisa bandingkan ini dengan politik marga Batak vs etnis di Indonesia, atau federalisme etnis India untuk memperdalam konteks.

Perbandingan di Negara Lain

Banyak negara di dunia masih menjalankan politik berbasis marga, klan, atau suku, baik secara formal dalam konstitusi maupun secara informal dalam praktik kekuasaan. Ini bukan anomali, melainkan pola umum di negara dengan sejarah negara lemah atau masyarakat komunal kuat. Berikut gambaran utamanya.

Di Libya, politik sangat dipengaruhi oleh kabilah dan marga seperti Warfalla, Magarha, Zintan, dan Misrata. Tidak ada sistem resmi berbasis marga, tetapi penunjukan pejabat, aliansi militer, dan legitimasi lokal sangat bergantung pada asal kabilah. Bahkan pemerintahan paralel di Tripoli dan timur Libya berdiri di atas koalisi kabilah.

Di Yaman, politik negara dan konflik saudara berjalan melalui jaringan kabilah, terutama Hashid dan Bakil. Presiden, jenderal, dan milisi dibangun di atas loyalitas suku. Bahkan kelompok ideologis seperti Houthi tetap beroperasi melalui struktur kabilah Zaidi.

Di Afghanistan, meski negara tampak berbasis ideologi atau agama, kekuasaan nyata dibangun di atas suku dan marga, terutama Pashtun, Tajik, Hazara, dan Uzbek. Di tingkat lokal, klan menentukan siapa menguasai wilayah, memungut pajak, dan menjaga keamanan.

Di Lebanon, politik formal memang berbasis agama, tetapi di dalamnya bekerja politik keluarga dan klan. Dinasti politik seperti Hariri, Jumblatt, dan Gemayel menunjukkan bahwa negara modern tetap dikelola melalui garis darah dan patronase keluarga.

Di Irak, identitas politik berjalan melalui kombinasi sekte, suku, dan klan, terutama di wilayah Sunni. Selama perang melawan terorisme, negara bahkan secara sadar mengaktifkan struktur suku sebagai alat keamanan.

Di Pakistan, terutama di wilayah Khyber Pakhtunkhwa dan Balochistan, kekuasaan lokal dibangun di atas struktur suku dan klan. Negara pusat sering bernegosiasi langsung dengan kepala suku, bukan institusi formal.

Di Nigeria, meski negara federal modern, politik lokal dan nasional sangat dipengaruhi kelompok etnis-suku seperti Hausa-Fulani, Yoruba, dan Igbo. Penunjukan presiden dan pembagian kekuasaan mengikuti prinsip keseimbangan etnis.

Di Papua Nugini, politik sangat berbasis klan, bahkan parlemen nasional sering diisi tokoh yang mewakili marga tertentu. Loyalitas pemilih lebih kuat ke klan dibanding partai.

Di Kenya, politik nasional dibentuk oleh koalisi etnis seperti Kikuyu, Luo, Kalenjin, dan Luhya. Pemilu sering menjadi kontestasi antar-blok suku, bukan ideologi.

Di Yordania, negara secara sadar mengelola kekuasaan melalui kesetiaan kabilah, terutama di kalangan militer dan aparat keamanan, sebagai fondasi stabilitas monarki.

Di Qatar dan Uni Emirat Arab, negara modern hidup berdampingan dengan struktur kabilah, yang tetap menentukan akses kekuasaan, kewarganegaraan, dan jabatan strategis.

Di Sudan dan Sudan Selatan, konflik dan politik sangat berbasis suku dan marga, seperti Dinka, Nuer, dan Fur, dengan kekerasan yang sering berakar pada identitas komunal.

Kesimpulannya, politik berbasis marga dan suku adalah fenomena global, bukan ciri keterbelakangan. Ia muncul ketika negara modern belum sepenuhnya menggantikan jaringan sosial lama. Negara yang stabil bukan yang meniadakan identitas, tetapi yang mencegah identitas menjadi alat perebutan senjata dan sumber daya.

Bagaimana dengan Indonesia?

Jawaban singkatnya: secara resmi tidak ada politik identitas berdasarkan marga dan suku, tetapi secara praktik sosial–politik ada unsur etnis yang bekerja secara informal. Indonesia sengaja dibangun untuk tidak menjadi negara berbasis suku, berbeda dengan Somalia atau Ethiopia.

Penjelasannya sebagai berikut.

Pertama, secara konstitusional, Indonesia bukan negara suku/etnis. Tidak ada pembagian kekuasaan berdasarkan Jawa, Sunda, Batak, Bugis, dan seterusnya. UUD 1945 menegaskan satu kewarganegaraan nasional, satu kedaulatan, dan satu sistem hukum. Tidak ada kuota jabatan berdasarkan suku.

Kedua, ideologi nasional (Pancasila & Bhinneka Tunggal Ika) sengaja dirancang untuk menekan politik identitas etnis. Pengalaman kolonial menunjukkan bahwa politik suku mudah dipecah-belah, sehingga elite kemerdekaan memilih identitas nasional sebagai payung utama.

Ketiga, meski begitu, politik etnis bekerja secara informal, bukan legal. Dalam praktik:

Pemilih kadang cenderung memilih calon “sedarah” atau “seasal”

Elite membangun jaringan berbasis kedaerahan

Afiliasi budaya dipakai untuk legitimasi, bukan aturan resmi

Namun ini tidak dilembagakan negara.

Keempat, pada masa Orde Baru, justru terjadi de-etnisasi paksa. Identitas suku ditekan, politik disentralisasi, dan elite militer-birokrasi diklaim “nasional”, meski secara sosiologis banyak diisi oleh jaringan tertentu (terutama Jawa). Tetapi ini bukan sistem hukum etnis, melainkan hasil dominasi politik pusat.

Kelima, setelah Reformasi, unsur etnis muncul lebih kuat di politik lokal, bukan nasional. Pilkada sering dipengaruhi:

Ikatan kedaerahan

Bahasa dan adat lokal

Solidaritas marga (contoh di Tanah Batak, Papua, atau Maluku)

Namun tetap dalam kerangka partai nasional dan hukum nasional, bukan “negara suku”.

Keenam, Indonesia berhasil menghindari jebakan federalisme etnis seperti Ethiopia. Provinsi tidak dibentuk berdasarkan etnis murni, melainkan wilayah administratif. Bahkan daerah istimewa (Aceh, Papua, DIY) pun berbasis sejarah dan politik, bukan “satu suku satu provinsi”.

Ketujuh, yang paling mendekati politik berbasis etnis di Indonesia adalah politik adat dan marga di tingkat lokal, misalnya:

Marga Batak dalam politik daerah

Dewan adat di Papua

Pela gandong di Maluku
Tetapi semua ini subordinat terhadap negara, bukan pengganti negara.

Kedelapan, konflik di Indonesia cenderung cepat mereda karena tidak dilembagakan secara etnis. Konflik Ambon, Poso, atau Sampit memang bernuansa identitas, tetapi negara tidak mengabadikannya dalam sistem politik, sehingga masih bisa diselesaikan.

Kesimpulannya, Indonesia tidak memiliki sistem politik berbasis suku seperti Somalia atau Ethiopia. Yang ada adalah politik nasional dengan praktik etnis informal, dikendalikan oleh hukum, partai, dan negara pusat. Ini justru menjadi salah satu faktor stabilitas Indonesia di tengah kemajemukan ekstrem.

Dibuat oleh AI

Powered by Blogger.