Sejak masa awal perkembangan Islam, dakwah sahabat Nabi Muhammad SAW telah mencapai berbagai penjuru dunia, termasuk Nusantara. Berdasarkan catatan sejarah yang ada, pada sekitar tahun 628 M, seorang utusan dari Tanah Arab bernama Akasyah bin Muhsin al-Usdi dikirim untuk menyampaikan pesan Islam kepada penguasa Sriwijaya, salah satu kerajaan besar yang terletak di pesisir Sumatera. Kehadiran Akasyah menjadi salah satu tonggak sejarah penting dalam penyebaran Islam di kawasan Asia Tenggara, yang kelak membentuk identitas agama dan budaya di Nusantara.
Pada masa itu, Sriwijaya sudah menjadi kerajaan maritim yang sangat maju dengan pelabuhan internasionalnya yang ramai dengan perdagangan rempah-rempah dan barang-barang lainnya. Tidak hanya itu, Sriwijaya juga merupakan tempat berkembangnya berbagai keyakinan, termasuk ajaran monoteisme yang dikenal sebagai Ajaran Braham. Keyakinan ini memiliki kesamaan dengan Islam, yang berfokus pada pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga mempermudah penerimaan ajaran Islam oleh sebagian besar bangsawan dan rakyat Sriwijaya.
Akasyah bin Muhsin al-Usdi diterima dengan baik oleh penguasa Sriwijaya, yang memiliki kecenderungan untuk menganut ajaran monoteisme. Islam yang dibawa oleh utusan Rasulullah SAW ini, dianggap memiliki banyak kesamaan dengan ajaran Brahmanisme yang sudah dianut oleh sebagian besar masyarakat Sriwijaya. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara Islam dan budaya lokal di Nusantara pada masa itu berjalan dengan cukup harmonis.
Tidak hanya melalui jalur diplomasi seperti yang dilakukan oleh Akasyah, dakwah Islam di Nusantara juga diperkenalkan oleh para pedagang Arab yang datang melalui jalur perdagangan laut. Para pedagang ini tidak hanya membawa barang dagangan, tetapi juga ajaran Islam. Perdagangan yang berlangsung di pelabuhan-pelabuhan besar seperti di Sriwijaya, kemudian menjadi jembatan bagi penyebaran Islam di kalangan masyarakat pesisir dan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara.
Selain itu, sejarah mencatat bahwa beberapa penguasa Sriwijaya, termasuk Sri Indrawarman, diyakini sebagai seorang Muslim. Sri Indrawarman, yang memiliki hubungan baik dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, merupakan salah satu contoh nyata dari penguasa yang mendukung penyebaran Islam. Di bawah kepemimpinannya, pengaruh Islam semakin menguat di Sriwijaya, dan banyak dari masyarakatnya yang mulai memeluk agama Islam. Hubungan baik antara Sri Indrawarman dan khalifah Islam menunjukkan adanya saling pengertian dan dukungan antara kerajaan-kerajaan Islam dengan kerajaan-kerajaan besar di Asia Tenggara.
Perjalanan dakwah Islam di Sriwijaya tidak berhenti hanya pada tingkat kerajaan. Islam juga menyebar ke kalangan rakyat, terutama melalui kontak yang intens antara pedagang Arab dan masyarakat lokal. Para pedagang ini tidak hanya membawa barang, tetapi juga menyebarkan ajaran agama mereka. Dakwah ini sangat efektif karena dilakukan dengan cara yang damai dan penuh dengan toleransi, mengingat bahwa ajaran Islam pada masa itu sangat menghargai budaya dan tradisi lokal.
Sementara itu, di wilayah lain Nusantara, dakwah Islam juga dilakukan oleh sahabat-sahabat Nabi yang lainnya, seperti para tabiin dan ulama yang kemudian datang ke wilayah-wilayah lain di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi. Mereka membawa ajaran Islam yang sederhana dan dapat diterima oleh masyarakat lokal. Dakwah Islam tidak dipaksakan, melainkan dilakukan dengan penuh kasih sayang, sehingga banyak yang tertarik untuk memeluk agama Islam. Sebagai contoh, di pulau Jawa, dakwah Islam dilakukan oleh Wali Songo, yang dikenal dengan metode dakwahnya yang sangat kultural dan mengintegrasikan ajaran Islam dengan kebudayaan lokal.
Para sahabat Nabi juga berperan penting dalam menyebarkan ajaran Islam ke berbagai wilayah di Nusantara melalui berbagai jalur, baik jalur perdagangan, diplomasi, maupun melalui pendidikan. Mereka tidak hanya memperkenalkan ajaran Islam, tetapi juga mengajarkan tata cara hidup yang sesuai dengan ajaran Islam, seperti cara beribadah, berinteraksi dengan sesama, serta mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi. Dakwah ini juga mengajarkan masyarakat Nusantara pentingnya ilmu pengetahuan dan peningkatan kualitas hidup.
Pada masa pemerintahan Dinasti Mrauk-U di Arakan, Myanmar, dakwah Islam juga berkembang pesat, yang menurut beberapa sejarahwan dipengaruhi oleh kedatangan kafilah yang dipimpin oleh Muhammad Al-Hanafiah, putra dari Ali bin Abi Thalib RA. Kafilah ini dikenal telah membawa ajaran Islam ke wilayah Arakan dan kemudian menikahi Ratu Kaiyapuri. Keturunan dari kafilah tersebut, yang kemudian dikenal dengan nama Muslim Rohingya, menjadi bukti bahwa dakwah Islam melalui jalur perdagangan dan pernikahan politik sangat berpengaruh dalam perkembangan Islam di Nusantara dan sekitarnya.
Dakwah yang dilakukan oleh para sahabat Nabi dan para pedagang ini mempengaruhi hampir seluruh wilayah Nusantara. Dalam catatan sejarah, dapat ditemukan banyak kerajaan dan wilayah yang memeluk Islam, seperti Kerajaan Aceh, Sultanate of Ternate, dan Kerajaan Demak, yang semuanya berperan dalam penyebaran Islam di Nusantara. Penyebaran Islam di wilayah-wilayah ini dilakukan melalui pendekatan yang berbeda, namun tetap mengutamakan toleransi dan kedamaian.
Seiring dengan berkembangnya waktu, dakwah Islam di Nusantara semakin meluas. Para ulama dan santri dari berbagai daerah terus menyebarkan ajaran Islam dengan cara yang lebih sistematis. Mereka mendirikan pesantren, mengajarkan ilmu agama, serta membangun komunitas Muslim yang kuat. Dalam perjalanan dakwah ini, para sahabat Nabi dan ulama-ulama besar menjadi tokoh-tokoh penting yang berperan dalam menciptakan masyarakat yang berbasis pada nilai-nilai Islam.
Dakwah sahabat Nabi di Nusantara memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan budaya, pendidikan, dan peradaban Islam di Indonesia. Selain menyebarkan agama, mereka juga mengajarkan etika, ilmu pengetahuan, serta pentingnya persaudaraan antar sesama. Hal ini tercermin dalam kehidupan masyarakat Muslim di Nusantara yang penuh dengan semangat gotong-royong, saling menghormati, dan menghargai perbedaan.
Kehadiran Islam yang dibawa oleh sahabat-sahabat Nabi dan para ulama ini juga telah mengubah wajah sosial dan politik di Nusantara. Banyak kerajaan yang sebelumnya bercorak Hindu-Buddha, kemudian beralih ke Islam dan menciptakan peradaban baru yang lebih maju. Salah satu contoh nyata adalah Kerajaan Aceh yang pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda berhasil menjadi pusat peradaban Islam di kawasan Asia Tenggara.
Dalam hal ini, dakwah Islam yang dilakukan oleh sahabat Nabi di Nusantara memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan sejarah Indonesia dan kawasan Asia Tenggara. Mereka tidak hanya membawa ajaran agama, tetapi juga membawa perubahan yang signifikan dalam kehidupan sosial, budaya, dan politik masyarakat Nusantara. Dakwah ini tetap dikenang dan dihargai hingga kini sebagai bagian dari warisan sejarah yang mengukir jejak keagamaan yang kuat di Nusantara.
Dengan adanya dakwah sahabat Nabi di Nusantara, Islam tidak hanya diterima sebagai agama, tetapi juga sebagai jalan hidup yang memberikan kedamaian, kebersamaan, dan keharmonisan dalam masyarakat. Islam yang berkembang di Nusantara tidak hanya sebagai agama yang mengajarkan tentang ibadah, tetapi juga mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan, toleransi, dan saling menghargai antar sesama.